12.01.2008

Papua Bukan Zona Damai! Papua Adalah Zona Darurat!

Oleh : KONTAK Papua! Download Versi PDF

TANAH PAPUA, DESEMBER 2008 – BERTEPATAN DENGAN peringatan Hari Nasional Papua Barat pada 01 Desember 2008, Status Tanah Papua telah dideklarasikan oleh Presidium Dewan Papua dan Dewan Adat Papua (deklarasi ditandatangani oleh Pemimpin Papua - Thom Beanal) sebagai Tanah Darurat atau Zona Darurat. Status ini ditetapkan karena Status Zona Damai yang diberikan bagi Tanah Papua terbukti tidak memberikan rasa aman dan kedamaian bagi Rakyat Papua. Zona Damai hanya memberikan kedamaian bagi pejabat (Papua maupun Non Papua) dan warga pendatang yang hidup bahagia diatas kehancuran rakyat asli pemilik negeri ini. Zona Damai juga hanya memberikan iklim yang cocok bagi suburnya berbagai perusahaan asing dan domestik maupun gurita bisnis kaum pemodal yang dengan leluasa menguras kekayaan alam, mencuri, merampok dan menghisap Rakyat Papua secara keji.

Rakyat Papua hidup dalam kondisi takut, resah, kehilangan inisiatif dan putus asah secara permanen. Situasi ini membuat Papua sulit dikatakan sebagai Zona Damai. Status yang pas bagi Papua adalah Zona Darurat atau Tanah Darurat. Status Papua Tanah Damai tidak bisa terus dipertahankan lagi karena sangat bertentangan dengan perikemanuasiaan dan perikeadilan.

Bukti kehancuran rakyat Papua dalam Zona Damai dapat kita jumpai dimana-mana. Angka kematian yang tinggi sebagai akibat dari kejahatan penjajah di jalur medis, pembodohan massal sebagai konsekuensi logis dari kejahatan penjajah di bidang pendidikan, hilangnya harapan hidup sebagai pemilik sah Tanah Papua sebagai akibat dari brutalnya sistem penghisapan yang dipertahankan oleh penjajah di jalur ekonomi, dlsbnya.

Pemandangan mengerikan akan terlihat ketika kita berjalan di Jayapura misalnya. Dari Sentani sampai Jayapura, Supermarket dan pusat-pusat ekonomi milik para pendatang bertumbuh dengan suburnya dalam Era Otsus dan Zona Damai. Sementara rakyat Papua hanya bisa dipaksa untuk merasa puas dengan cara berjualan pinang, noken-gelang-kalung-topi buatan lokal atau kaset-kaset tape recorder di depan Supermarket.

Kalau kita lihat sejenak ke apotek-apotek, mereka yang antri untuk berobat dengan harga yang mahal adalah kebanyakan orang Papua. Bisnis keji dalam penjualan obat terjadi melalui kongsi para dokter dengan apoteker untuk menghisap rakyat Papua dalam Era Otsus. Kalau kita dengar di radio, berita duka yang tiap hari dibacakan menyebutkan banyak orang Papua yang meninggal sementara kalau kita berkunjung ke rumah sakit, khususnya ruang bersalin, hampir semua bayi yang lahir tiap hari adalah bukan orang Papua.

Korupsi uang rakyat terjadi dimana-mana. Pejabat berpesta-pora diatas penderitaan rakyat Papua yang kelaparan, penyakitan, kurang gizi, umur pendek dan mental yang tidak pernah berkembang. Hukum bisa dibeli, Pengadilan selalu siap sedia membela kejahatan dan menindas kebenaran. Mereka yang berjuang untuk keadilan selalu disalahkan dan dipenjara, sementara mereka yang menindas rakyat selalu dianggap pahlawan.

Iklim demokrasi juga sulit tercipta dalam Zona Damai karena kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana dijanjikan oleh Konstitusi Republik terkutuk ini hanyalah tulisan kosong yang sulit dibuktikan dalam praktek. Demokrasi hanyalah sebuah kata indah yang dipakai untuk membungkus penjajahan, pembantaian, pemiskinan, pembodohan massal dan umumnya – anti demokrasi.

Contoh-contoh diatas, membuktikan bahwa Zona Damai tidak ada artinya bagi rakyat Papua. Zona Damai, sekali lagi, hanyalah sebuah status yang diberikan untuk mengebiri kekebasan berekspresi, membunuh semangat perlawanan, menumpulkan semangat revolusioner rakyat Papua, membuat rakyat Papua tidur nyenyak tanpa perlawanan terhadap penjajah.

Mempertahankan Papua sebagai Zona Damai berarti mendukung penghancuran total terhadap Rakyat Papua. Mempertahankan Papua sebagai Zona Damai berarti senang menikmati kehancuran orang Papua. Mempertahankan Papua sebagai Zona Damai berarti mengabaikan kondisi nyata kehidupan rakyat Papua. Hanya orang biadab, tolol dan bermental pemakan bangkai saja yang akan terus mempertahankan Papua sebagai Zona Damai dengan berkampanye bohong setiap saat melalui media-media massa yang mengabdi pada kejahatan.

Deklarasi Papua sebagai Zona Darurat merupakan tonggak awal sejarah baru, dimana segenap komponen bangsa Papua akan berjuang dengan tahapan-tahapan yang tepat untuk menemukan jawaban yang tepat bagi kebebasan sejati yang diimpikan selama ini. Tetapi, perlu dicatat bahwa perjuangan tidak akan berhasil kalau rakyat terpecah secara geografis, terpecah secara emosional, terpecah secara kepentingan politik, terpecah secara agenda kerja dlsbnya. Persatuan menjadi kebutuhan utama dan segera! (k0nt@k)

Lanjut Membaca »»

10.16.2008

Dukungan Parlemen Internasional Harus Disambut Dengan Boikot Pemilu 2009!

Oleh : KONTAK Papua! Download Versi PDF

Tanah Papua, Oktober 2008 – RENCANA PELUNCURAN International Parliamentarians for West Papua atau disingkat IPWP pada hari Rabu, 15 Oktober 2008 di gedung Parlemen Inggris – London atau Kamis 16 Oktober 2008 Waktu Papua Barat telah menjadi kenyataan. Para undangan dari berbagai Negara, diantaranya Argentina, Australia, Austria, Belgia, Kanada, Republik Ceko, Timor Timur, Fiji, Finlandia, Belanda, Kanaky, Selandia Baru, Norwegia, Papua Nugini, Polandia, Portugal, Kepulauan Solomon, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, United Kingdom (Inggris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara), Tuvalu, Amerika Serikat dan Vanuatu sedang berada di Inggris saat ini. Mereka menghadiri acara peluncuran IPWP dan sedang mengatur strategi untuk memaksimalkan kampanye di tingkat internasional untuk menempatkan persoalan Papua Barat pada porsi yang sebenarnya dan menyelesaikannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan yang menjunjung tinggi martabat manusia dan hak-hak politik rakyat Papua sesuai dengan mekanisme Internasional. Cara bermartabat yang akan ditempu adalah REFERENDUM atau PEPERA ULANG.
Dukungan dalam bentuk aksi solidaritas dilakukan di berbagai penjuru dunia oleh massa rakyat Papua Barat dan para pendukung Papua Merdeka. Di Jakarta, massa rakyat Papua dari berbagai kota di Jawa-Bali sedang melakukan aksi massa. Mereka didukung penuh oleh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa yang selama ini mendukung gerakan kemerdekaan Papua. Dukungan juga datang dari kawan-kawan pro demokrasi yang pernah sukses melepaskan Timor Timur dari cengkeraman NKRI. Masyarakat Indonesia dan kawan-kawan pro demokrasi telah menyatakan tekad mereka untuk membantu melepaskan Papua Barat dari cengkeraman segelintir elit penguasa yang selalu mengatasnamakan Pancasila, UUD 1945, Integritas Bangsa, NKRI Harga Mati, dan berbagai alasan lainnya yang mengatasnamakan kepentingan umum hanya untuk menghisap, memecahbelah rakyat tertindas dan menjerumuskan mereka ke dalam penderitaan.

Di Papua, aksi dukungan terhadap peluncuran IPWP dilakukan dalam berbagai bentuk. Dari Nabire dilaporkan bahwa terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa titik dan akibatnya, beberapa aktivis ditangkap oleh Polisi untuk diperiksa. Di Enarotali dilakukan syukuran dalam bentuk "Bakar Batu" secara besar-besaran. Di Jayapura, hari ini dilakukan aksi dukungan secara besar-besaran oleh rakyat Papua dengan Kantor DPR Papua sebagai sasaran utama. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan rakyat Papua terhadap peluncuran IPWP sangat besar dan merupakan bukti kesadaran mereka sekalipun banyak kegiatan pengalihan perhatian, penipuan dan teror dilakukan oleh otoritas penjajah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga keagamaan, akademis, klub olah raga, dll.

Dilihat dari dukungan nyata yang diberikan, terbukti bahwa persoalan Papua telah menjadi persoalan Internasional. Rakyat Papua saat ini tidak berjuang sendirian. Sejak Papua Barat dicaplok Indonesia, berbagai perlakuan biadab menimpa rakyat Papua : pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan wanita dewasa dan anak-anak, pencaplokan tanah ulayat, intimidasi brutal oleh ideologi Pancasila, pembunuhan karakter secara sistematis, penghinaan ras tanpa mengenal ampun, pembasmian melalui peracunan makanan-minuman dan masih banyak bentuk kejahatan lagi.

Semua bentuk penjajahan tidak membuat rakyat Papua diam dan menerima. Perjuangan terus dilancarkan, mulai dari gerakan bersenjata di rimba raya sampai gerakan berdasi di kota-kota. Perjuangan melalui jalur akademik terus dilancarkan oleh para intelektual Papua dalam bentuk penerbitan buku, propaganda media massa (bulletin, majalah, selebaran, internet), seminar, diskusi ilmiah, bedah buku, dll. Segenap Rakyat Papua di gunung-gunung, lembah-lembah, rawa-rawa dan pesisir pantai memanjatkan doa, memberi nasehat kepada anak-anak muda, memberikan dukungan dana, makanan, tempat penginapan dan informasi intelijen yang sangat berguna buat perjuangan Papua Merdeka.

Menjadi pertanyaan penting untuk dipikirkan oleh segenap rakyat Papua, Apa yang harus dilakukan setelah momen peluncuran IPWP? Artinya, Dukungan masyarakat Internasional melalui peluncuran IPWP maupun dukungan rakyat Indonesia, kawan-kawan pro demokrasi dan semangat rakyat Papua untuk merdeka ini harus ditanggapi dengan aksi nyata seperti apa supaya peluncuran IPWP dan aksi-aksi dukungan saat ini tidak menjadi upacara biasa, momen hura-hura dan menjadi bahan ceritera di kalangan rakyat bahwa pernah ada peluncuran IPWP dan dukungan solidaritas berupa aksi-aksi massa hanya pada tanggal 15, 16 dan 17 Oktober 2008.

Pertanyaan ini akan terjawab kalau kita coba melihat keberadaan penjajah NKRI di Tanah Papua. NKRI menancapkan kuku penjajahannya di Papua sejak 1 Mei 1963 dan mempertahankan cengkeraman itu hanya dengan dua cara : pertama, dengan cara kekuatan militer dan kedua, dengan cara persuasi. Cara pertama dilakukan dengan menggunakan satuan-satuan pemaksa yang ada seperti tentara, polisi, pengadilan, penjara dan seperangkat aturan hukum sebagai alat untuk melegitimasi aksi-aksi kekerasan. Dalam konteks ini, kita bisa lihat bahwa satuan-satuan pemaksa berfungsi efektif dalam memotong semua aksi rakyat Papua untuk melepaskan diri dari penjajahan Indonesia.

Cara kedua, cara persuasi, dilakukan dengan memanfaatkan paham demokrasi dan semua mekanisme yang menyertai paham ini. Cara persuasi dilakukan dengan maksud untuk menjebak rakyat Papua agar memberikan legitimasi terhadap keberadaan NKRI di Papua. Kita bisa lihat, legitimasi keberadaan NKRI di Papua pertama diperoleh dari hasil Pepera 1969. Sekalipun Pepera 1969 cacat secara hukum tetapi dibenarkan oleh masyarakat Internasional karena mekanisme yang digunakan adalah mekanisme Demokrasi Pancasila. Karena Dunia Barat yang menganut paham Demokrasi Liberal melihat Demokrasi Pancasila sebagai varian dari Demokrasi Liberal maka hasil Pepera 1969 yang dijalankan berdasarkan prinsip "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" itu diterima secara bulat dan disahkan oleh masyarakat internasional melalui Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 November 1969.

Cara persuasi terus dilakukan dengan melaksanakan apa yang dikenal sebagai Pesta Demokrasi atau PEMILIHAN UMUM (Pemilu). Sejak 1969, semua Pemilu yang digelar di Papua (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004) selalu sukses. NKRI merasa senang dengan keterlibatan rakyat Papua Barat dalam setiap Pemilu karena dengan demikian, keberadaannya di Papua telah disetujui secara sadar oleh Rakyat Papua. Tugas dia adalah bagaimana memanfaatkan legitimasi rakyat Papua ini untuk melanjutkan penjajahan dengan leluasa.

Berbagai kampanye yang dilakukan Indonesia untuk mencari dukungan internasional terhadap integrasi Papua kedalam NKRI selalu sukses karena rakyat Papua-lah yang menghendakinya lewat Pemilu. Setiap Pemilu yang sukses merupakan bukti kesetiaan rakyat Papua terhadap Indonesia, bahwa mereka masih mau dijajah oleh penjajah-nya untuk kurun waktu lima tahun kedepan, bahwa masyarakat internasional tidak boleh membantu rakyat Papua dalam mengusir Indonesia.

Saat ini, dukungan internasional berupa peluncuran IPWP merupakan isyarat bahwa sekalipun Pepera 1969 pernah diakui oleh masyarakat internasional, mereka masih ragu dengan keabsahannya karena berbagai laporan pelanggaran dan intimidasi saat pelaksanaan Pepera 1969 sudah terkuak. Isyarat ini harus ditanggapi oleh rakyat Papua, tidak hanya sebatas melakukan aksi dukungan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pada momen peluncuran IPWP, tetapi harus dengan cara yang bisa membuat legitimasi Indonesia di Papua menjadi terancam, bila perlu hilang sama sekali. Salah satu cara jitu yang menjadi diskusi di kalangan aktivis gerakan dan rakyat Papua saat ini adalah BOIKOT PEMILU 2009. Dengan memboikot Pemilu 2009, masyarakat Internasional, terutama mereka yang menginisiasi IPWP akan percaya bahwa rakyat Papua Barat mau merdeka, lepas dari Indonesia. IPWP yang diluncurkan dengan sumbangan dana yang tidak sedikit dari rakyat Papua akan menjadi kuat hanya kalau sikap dan pilihan politik rakyat Papua Barat dinyatakan dengan jelas, tentu saja dengan cara BOIKOT PEMILU 2009.

Sesungguhnya, akan terjadi keanehan dan menjadi bahan lelucon publik apabila IPWP bekerja dengan sekuat tenaga meyakinkan manusia di planet bumi ini bahwa Papua Barat dicaplok Indonesia dan mereka harus diberi hak untuk melakukan REFERENDUM atau PEPERA ULANG, sementara pada saat yang sama, semua proses Demokrasi Pancasila, terutama Pemilu 2009, dilaksanakan dengan sukses di Papua. Apabila hal ini terjadi, maka Rakyat Papua akan menjadi bangsa yang tidak tahu berterima kasih kepada masyarakat internasional karena menyia-nyiakan dukungan yang diberikan oleh sesama kita.

Perlu diingat bahwa IPWP dibentuk dan sepenuhnya dikendalikan oleh orang-orang yang pernah melakukan hal yang sama untuk sesama Melanesia kita di Timor Timur. Pada tahun 1998, mereka meluncurkan sebuah wadah bernama International Parliamentarians for East Timor atau IPET. Wadah ini bekerja menggalang dukungan internasional, merekayasa krisis moneter di Asia dan hasilnya, Presiden BJ Habibie mengalami posisi sulit dan satu-satunya keputusan yang harus diambil adalah Referendum untuk Timor Timur.

Orang-orang yang sama, dengan jaringan internasional yang rapih, dengan semangat solidaritas terhadap rakyat Papua, saat ini sedang membantu rakyat Papua untuk mengulangi modus Timor Timur melalui International Parliamentarians for West Papua atau IPWP. Kita harus mencatat, bahwa dukungan IPET terhadap persoalan Timor Timur tidak disia-siakan oleh Rakyat Timor. Mereka menolak masuk PNS, menyerang hampir semua satuan TNI –Polri yang bertugas sebagai PAM Pemilu 1999 dan membangun jaringan yang luas di Indonesia dengan masyarakat Jawa dan kawan-kawan pro demokrasi yang justru saat ini sedang bersama-sama dengan massa rakyat Papua melakukan aksi dukung IPWP di Jakarta.

Sudah saatnya Rakyat Papua berjuang dengan cara-cara yang bermartabat, dengan memanfaatkan dukungan internasional yang ada, dengan menghitung semua kekuatan lawan dan menghantam lawan secara mendadak dari bagian yang tidak dijaga. Saat ini bagian yang tidak dijaga dan pas adalah Pemilu 2009. Apabila semua kekuatan Rakyat Papua dimobilisasi untuk memboikot Pemilu 2009 maka IPWP yang diluncurkan hari ini akan menjadi kuat dan dengan demikian, penderitaan kita akan segera diakhiri! (k0nt@k)
Lanjut Membaca »»

10.09.2008

15 Oktober 2008 Bukan Momen Kemerdekaan Papua Barat!

Oleh: KONTAK Papua! Download Versi PDF

Tanah Papua, Oktober 2008 – RENCANA PELUNCURAN International Parliamentarians for West Papua atau disingkat IPWP pada hari Rabu, 15 Oktober 2008 di gedung Parlemen Inggris – London telah diterjemahkan secara keliru sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat – Papua akan lepas dari cengkeraman NKRI pada Rabu, 15 Oktober 2008. Pemahaman keliru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini merupakan hasil dari propaganda murahan Intelijen Indonesia untuk menyesatkan pikiran rakyat Papua dan membuat mereka tidak berpikir secara kritis. Oleh karenanya, KONTAK Papua! Edisi ke-7 ini akan menjelaskan sedikit soal momen 15 Oktober 2008 ini.
Pada hari Rabu, 15 Oktober 2008, bertempat di Gedung Parlemen Inggris (di London), akan diluncurkan sebuah Group bernama International Parlementarians for West Papua (IPWP). Group ini mencakup banyak anggota Parlemen dari berbagai Negara dengan Anggota Parlemen Inggris - Andrew Smith dan Lord Harries – sebagai inisiator. Andrew Smith sendiri adalah Ketua Panitia kegiatan tersebut yang telah menyebarkan Undangan kepada berbagai pihak di seluruh dunia untuk menghadiri acara tersebut.

Dalam peluncuran IPWP ini, para anggota Parlemen dari berbagai belahan dunia – termasuk Tuan Powes Parkop (Anggota Parlemen Papua Nugini sekaligus Gubernur Port Moresby) akan hadir untuk secara bersama-sama menyatukan tekad mereka dalam mengangkat persoalan Papua menjadi persoalan Internasional yang perlu diselesaikan melalui sebuah mekanisme Internasional yaitu REFERENDUM.

IPWP tidak lahir secara tiba-tiba atau jatuh dari langit dengan sendirinya sebagai hadiah untuk rakyat Papua Barat. Ia adalah hasil dari perjuangan, pengorbanan, doa dan air mata Rakyat Papua yang disuarakan di Kerajaan Inggris Raya oleh Tuan Benny Wenda. Benny Wenda adalah Pemimpin Papua Merdeka (Ketua DeMMak) yang bermukim di Inggris dan tanpa kenal lelah mengadakan kegiatan Turun Kampung (Turkam) di hampir seluruh pelosok Kerajaan Inggris Raya.

Kampanye Papua Merdeka yang dilakukan Benny Wenda di Kerajaan Inggris Raya diasuh oleh sebuah wadah bernama Free West Papua Campaign dengan Richard Samuelson sebagai pemimpinnya (Co-Director). Dalam sebuah edaran resmi Free West Papua Campaign yang diterbitkan di situs http://www.freewestpapua.org/, Samuelson mengatakan bahwa, "…a decade ago the International Parliamentarians for East Timor group played a very significant part in bringing East Timor to international attention. We very much hope that IPWP will do the same for West Papua". ["…satu dekade yang lalu Group Parlemen Internasional untuk Timor Timur memainkan peran yang sangat signifikan membawa Timor Timur menjadi perhatian dunia internasional. Kami sangat mengharapkan IPWP akan berbuat yang sama untuk Papua Barat".]

Pernyataan Samuelson merupakan penjelasan resmi bahwa momen 15 Oktober 2008 bukan merupakan hari Kemerdekaan Papua Barat sebagaimana dikampanyekan secara biadab oleh Intelijen Indonesia akhir-akhir ini, melainkan Momen ini merupakan langkah penting dalam menginternasionalisasi persoalan Papua Barat hingga menuju kemerdekaan, terlepas dari Indonesia. Hal yang sama pernah dilakukan pada tahun 1998 oleh orang-orang yang sama untuk masalah Timor Timur.

Menurut Richard Samuelson, acara itu akan dimeriahkan oleh group Mambesak dari Belanda di luar gedung Parlemen. Setelah peluncuran IPWP, Benny Wenda dan istrinya, Maria Haluk menurut rencana akan diundang untuk wawancara oleh Radio BBC World Service pada 24 Oktober 2008. Mereka akan mengenakan pakaian adat Papua dan mendendangkan lagu-lagu dalam bahasa Lani yang akan disiarkan secara langsung oleh Radio atau bisa diakses online di situs BBC.

Sementara itu, di Jalan 38 Grosvenor Square, London, W1K 2HW, depan Gedung Kedutaan Besar Indonesia London, akan diadakan aksi massa dari komunitas masyarakat London yang selama ini mendukung kemerdekaan bagi Papua Barat. Sedang, lebih dari 15.000 orang telah mengirim kartu pos kepada Kedubes Indonesia di London, mendesak Indonesia melakukan dialog yang dimediasi pihak internasional dengan perwakilan Papua.

Selanjutnya, Informasi resmi soal kegiatan IPWP pada 15 Oktober 2008 ini bisa diakses melalui beberapa situs berita, foto dan video: FreeWestPapua.Org, InfoPapua.Org, TheWPToday, Mnubabo, FreeWPUK, dan WPFreedomYoutube. Bisa juga dengan cara menelpon Tuan Benny Wenda secara langsung di Nomor HP : 001447766875009. (k0nt@k)
Lanjut Membaca »»

8.27.2008

Mogok Sipil Nasional Harus Pada Momen Demokrasi Pancasila!

Oleh : KONTAK Papua! Download Versi PDF
Tanah Papua, Agustus 2008 – SERUAN NURANI Selpius Bobii, Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat –Front Pepera PB – dari balik terali besi LP Abepura tertanggal 25 Agustus 2008 menyebutkan beberapa bentuk perjuangan bangsa Papua untuk lepas dari penjajahan Neokolonialisme Indonesia, Militerisme Indonesia dan Imperialisme Global. Salah satu cara yang diusulkan adalah Mogok Sipil dan usulan ini menjadi sorotan Kontak Papua! Edisi kali ini.
Mogok Sipil Nasional Papua adalah sebuah agenda politik yang dicanangkan akhir 2005 oleh beberapa organ strategis yang bersatu dibawah payung Front Pepera PB. Agenda tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam berbagai Press Release Front Pepera PB. Mogok Sipil berarti penghentian semua aktifitas kolonialisme di semua sektor dan dilakukan secara sadar oleh massa rakyat Papua yang sadar akan hak-hak politiknya. Penghentian aktifitas dimaksudkan untuk memaksa pemerintah penjajah agar bersedia berdialog dengan rakyat Papua dengan agenda yang disepakati bersama, terutama soal hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Akan tetapi, hampir semua sektor terhisap seperti PNS, Mahasiswa, Buruh, Pelacur, Tani, Nelayan dan sektor-sektor lainnya telah dibuat tergantung terhadap aktifitasnya dengan pengontrolan yang ketat secara moral, ideologis dan paksaan dari negara terkutuk ini. PNS akan kena hukuman kepangkatan kalau kedapatan mogok. Mahasiswa akan kena hukuman secara akademik kalau melakukan mogok. Buruh, Pelacur, Tani dan Nelayan tidak akan memberi makan anak-istri atau anak-suami mereka kalau melakukan mogok.

Ancaman-ancaman ini, ditambah dengan siraman hujan propaganda media massa (cetak maupun elektronik) telah membuat mayoritas rakyat Papua bersikap massa bodoh dan mati rasa terhadap penindasan oleh kaum penjajah. Penjajah berhasil menampakkan dirinya dalam bentuk yang paling suci sehingga mayoritas rakyat Papua mencintai mereka seperti mencintai kedua orang tua kandung sendiri.

Oleh karena itu, menjadi tugas berat kaum Revolusioner Papua dan massa rakyat yang setia bersama mereka untuk memikirkan sebuah momen alternatif yang pas untuk melaksanakan Mogok Sipil secara nasional dalam lingkup Papua. Momen tersebut secara tersirat telah ditegaskan dalan Seruan Nurani Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Pepera PB. Seruan tersebut menyebutkan batas waktu Sebelum Pemilu 2009 untuk semua ancaman yang tertulis didalamnya.

Mengapa Pemilu 2009? Kita tahu bahwa Pemilu adalah cara yang dipakai oleh minoritas penghisap yang mengelola Negara untuk mencari legitimasi dari mayoritas rakyat yang dihisap. Apabila Pemilu sukses berarti rakyat telah menyatakan bahwa mereka bersedia dieksploitasi, bersedia dihisap selama kurun waktu lima tahun kedepan.

Dalam konteks Papua, Pemilu tidak lain dan tidak bukan, adalah sebuah cara penjajah untuk tetap mempertahankan Papua dalam sangkar NKRI. Artinya, apabila Pemilu sukses maka Rakyat Papua telah menyatakan bahwa mereka bersedia dijajah selama lima tahun kedepan. Sejak Papua dicaplok Indonesia melalui tangan PBB, AS dan Belanda pada tahun 1963 dan mendapat dukungan masyarakat Internasional setelah rekayasa Pepera 1969, semua Pemilu yang dijalankan di Papua berhasil dengan sukses.

Suksesnya setiap Pemilu di Papua (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004) menunjukkan betapa setianya rakyat Papua terhadap penjajah mereka. Kesetiaan ini, yang seringkali menjadi bahan lelucon, menurut bahasa seorang tokoh Masyarakat Kei di Merauke : "Papua setia terhadap Indonesia persis seperti seekor anjing yang setia terhadap tuannya."

Mogok Sipil akan lebih bermakna dan bermartabat kalau dijatuhkan pada momen-momen demokrasi Pancasila seperti Pemilu, Pilkada dan Pilpres. Pemilu 2009 merupakan sebuah momen yang tepat untuk melaksanakan Mogok Sipil Nasional. Langkah ini merupakan sebuah langkah yang paling mujarab dalam strategi perjuangan damai. Strategi Perjuangan bersenjata hanya akan efektif kalau didukung oleh strategi perjuangan damai yang rasional.

Ketika Mogok Sipil dijatuhkan tepat pada hari pencoblosan Pemilu 2009 maka NKRI akan kehilangan legitimasinya di Papua. Kehadirannya akan dirasakan sebagai sebuah invasi militer murni yang dikawinkan dengan rasisme di legislatif karena semua anggota dewan pasti warga non Papua. Ketika para anggota legislatif yang non Papua mengatur Tanah Papua dan semua yang ada diatas-Nya sesuka hati mereka maka sistem Apartheid akan terlihat dengan jelas. Sudah saatnya Rakyat Papua menarik kesetiaannya terhadap NKRI karena kesetiaan kita ternyata menjadi bahan lelucon bagi mereka. Kita =Anjing! (k0nt@k)
Lanjut Membaca »»

4.20.2008

MRP Disesatkan atau Menyesatkan Diri?

Oleh : Kontak Papua! Download Versi PDF

Tanah Papua, April 2008 - Dua tahun Majelis Rakyat Papua (MRP) berdiri. Kini banyak pertanyaan dan sorotan datang dari berbagai komponen. Mereka mempertanyakan kinerja lembaga yang katanya Lembaga Representase Kultural Orang Asli Papua ini. Sebagian menyoroti MRP tidak berbuat sesuatu. Sebagian menuduh MRP berdiri di tempat. Yang lainnya menuding MRP berjalan mundur. Sebagian lagi membela MRP dengan berdalih lembaga ini baru berdiri sehingga tidak dapat berbuat banyak. Klimaksnya, rakyat Asli Papua dari berbagai organisasi mendatangi MRP dan mendesak membubarkan lembaga itu karena dianggap gagal melindungi hak-hak dasar orang asli Papua.

Pihak MRP sendiri, melalui ketuanya Agus Alua dalam refleksi dua tahun berdirinya MRP mengaku lembaga yang dipimpinnya ibarat dibuang di belantara dan para anggotanya sedang mengembara mencari pertolongan. Dari pernyataan ketua MRP di atas, sangatlah jelas bahwa sesungguhnya semua pertanyaan dan sorotan yang dialamatkan kepada lembaga yang mengatasnamakan orang asli Papua ini berada dalam kebingungan. Mereka kini tersesat. Mereka terperangkap dalam jerat. Tidak tahu kemana mau pergi dan dari mana mereka datang.

Apakah ini karena para anggota MRP menyesatkan diri di belantara atau memang disesatkan seperti pernyataan ketua lembaga ini? Tulisan ini mencoba melihat perjalanan MRP untuk menjawab apakah MRP disesatkan atau menyesatkan diri.

Hari itu, 12 Agustus 2005. Sepanjang jalan Abepura- Jayapura berubah menjadi lautan manusia. Semua aktifitas dihentikan. Tak banyak kendaraan melewati jalan utama itu seperti layaknya. Hampir semua orang asli pemilik negeri ini turun jalan. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Mulai dari petani, mahasiswa hingga pegawai pemerintah. Mereka berasal dari berbagai organisasi politik, organisasi sosial, LSM maupun organisasi keagamaan. Hanya satu yang mereka bawa. Peti mati.

Di dalam peti itu ada “Jenazah” yang bernama Otonomi Khusus. Ia dibawa bukan dalam keadaan sakit. Tetapi dalam keadaan tidak bernyawa karena memang ia lahir dalam keadaan mati dan dibawa ke Papua juga dalam keadaan mati.

Jenazah Otsus itu bisa dikuburkan di negeri kasuari ini, namun Orang Asli Papua tidak setuju karena jika dikubur di tanah ini bisa berakibat fatal. Penduduk Papua takut tertular penyakitnya. Lagi pula Otsus itu lahir karena hasil pelacuran politik. Karena itu, peti mati itu diserahkan kepada DPRP (Dewan Penipu Rakyat Papua) sebagai wakil Pemerintah Indonesia (bukan wakil rakyat Papua) untuk diteruskan ke negeri asalnya.

Saat itu, di hadapan ribuan massa, di hadapan Tuhan Orang Papua dan di hadapan Alam (daratan dan lautan) Papua, Jhon Ibo (Ketua DPRP) dengan sombong, dengan lantang dan dengan berani berjanji untuk diteruskan kepada pemiliknya.

Namun lain dibibir, lain dihati. Jhon Ibo dan kawan-kawannya bukan membawa kembali peti mati dan jenazah itu kepada pemiliknya tetapi – seperti kebiasaan mereka - di tengah jalan para budak NKRI ini mengarangnya dengan mengatakan bahwa Otsus perlu diberikan nafas buatan supaya ia kelihatan hidup. Maka, mereka berhasil merekayasa hidupnya dengan nafas buatan yang bernama Peraturan Pemerintah 54 Tahun 2005 tentang pembentukan MRP.

Setelah PP tentang pembentukan MRP itu keluar, orang asli Papua tahu bahwa hal itu hanyalah sebuah trik, sebuah jebakan untuk mengelabui kematian Otsus. Mereka tidak mau mengambil resiko atas kejahatan orang lain. Orang asli Papua tidak mau dianggap penjahat hanya karena tidak memelihara Otsus dari nafas buatan itu.

Karena itu, orang asli Papua menolak memilih wakil mereka sebagai penggerak roh Otsus buatan itu. Salah satu penolakan datang dari Front Pepera PB dan Dewan Adat Papua. Penolakan yang sama juga datang dari gereja. Salah satunya dari GKI di Tanah Papua. Bukan hanya itu, di mana-mana, di seluruh pelosok Tanah Papua terjadi penolakan.

Namun demikian, di tengah-tengah sumber daya alam Papua yang melimpah ini masih ada orang asli Papua yang miskin. Miskin materi, miskin moral dan miskin mental sehingga mereka memilih untuk bergabung sebagai penggerak roh Otsus. Dengan harapan bisa mendapatkan uang. Uang darah, uang air mata dan uang tulang belulang orang asli Papua itu untuk memuaskan nafsu birahi.

Mereka bukan orang sembarang. Para penjilat ini berlatar belakang pendidikan yang cukup, pengalaman yang cukup, bahkan sebagiannya adalah orang yang mengemban amanat rakyat Papua melalui Kongres II Rakyat Papua. Sebagian lagi mereka yang selalu berkhotbah tentang kebenaran Allah di Gereja dan Masjid. Yang lainnya mantan pimpinan dan staf pengajar di Perguruan Tinggi. Sebagian kecil memang pantas karena datang dari latar belakang pendidikan yang sangat minim. Akibatnya untuk menyebutkan Otsus saja mereka menyebutnya Opsus (operasi susu ka?).

Setelah dilantik, mereka dikarantina di hotel. Dihadiahi mobil mewah dan berbagai hadiah lainnya serta sejumlah janji. Karena Indonesia tahu, manusia-manusia miskin itu datang dari hutan Papua hanya karena tidak tahan terhadap kemiskinan yang mereka alami. Untuk itu mereka keluar meninggalkan Komunitas Papua dan mengemis makan pada Indonesia.

Sayang sekali, semua yang diberikan maupun yang dijanjikan hanya pemberian dan janji semu. Hanya untuk meloloskan niat jahat NKRI di tanah ini. Hanya sebuah trik untuk mendapatkan legitimasi untuk membawa bangsa Papua menuju pemusnahan.

Buktinya gaji MRP belum dibayar delapan bulan. Sekarang para penjilat itu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka mengeluh. Mereka mengemis. Mereka pusing. Makanya, ketua MRP katakan lembaganya ibarat dibuang di belantara dan sedang mengembara mencari pertolongan.

Siapa yang membuang MRP? Bukankah anggota MRP sendiri yang buang diri dan mau mengembara di hutan? Bukankah anggota MRP sendiri yang mau terperangkap dalam jerat? Karena para anggota MRP bukan bayi, bukan orang tidak waras. Bukan binatang. Sebab hanya bayi, binatang dan orang gila yang bisa jatuh di jurang yang sama atau mengulangi kesalahan yang kesekian kalinya.

Jadi pernyataan Ketua MRP itu hanya karena kepentingan perut anggota MRP. Nafsu birahi anggota MRP. Bukan karena pemerintah menolak dan belum bahas rancangan Perdasus yang diajukan MRP. Sebab untuk apa dan untuk siapa Perdasus itu dibuat. Untuk orang asli Papua? Orang asli Papua tidak butuh jaminan perlindungan apapun melalui produk hukum NKRI karena Indonesia tidak pernah dan tidak akan butuh manusia Papua, makanya NKRI melahirkan undang-undang untuk menjerat orang asli Papua.

Jadi kesimpulannya, para anggota MRP tahu bahwa otsus sudah dikembalikan karena tidak bernyawa namun masih mau menjadi anggota MRP sehingga mereka bukan disesatkan oleh siapa-siapa tetapi mereka menyesatkan diri hanya karena nafsu birahi.

Kalau sudah begini MRP mau kemana sekarang? Apakah mereka akan datang kepada orang asli Papua sebagai obyek pemuas nafsu dengan mengatakan, pemerintah tidak mendengar pokok-pokok pikiran MRP dan tidak membahas dan menetapkan rancangan Perdasus dari MRP? Atau dengan alasan pelarangan simbol "separatis" OPM, padahal MRP sedang menyusun rancangan Perdasus tentang lambang kultur termasuk di dalamnya penetapan bintang kejora sebagai bendera kultur? Sayang. Itu bukan alasan. Orang asli Papua tidak akan percaya terhadap pembicaraan MRP.

Orang Papua melihat MRP bukan sebagai wakil mereka. Mereka melihat lembaga itu sebagai lembaga NKRI. Lembaga yang membicarakan masalah dan kepentingan NKRI. Karena orang asli Papua tahu, MRP ada karena produk hukum NKRI. Anggota MRP sumpah setia pada NKRI. Dibiayai oleh NKRI. Orang Papua dari dulu berpendirian tetap yaitu lepas dari NKRI. Makanya sejak wacana Otsus muncul, mereka sudah menolaknya. Sedangkan Pengembalian Otsus adalah bagian terakhir dari sikap politik orang Papua. Mau ke pemerintah NKRI? Entahlah….tapi sampai kini suara MRP tidak didengar.

MRP dianggap pesuruh pemerintah. MRP dianggap sebuah lembaga kultur yang tugasnya hanya memberikan pertimbangan bukan memutuskan. Oleh karenanya nasib orang asli Papua tidak bisa dibela MRP. Buktinya, MRP tidak mendapatkan peran yang cukup. Suara MRP tidak didengar. Justru MRP mendapat banyak sorotan dari pemerintah. Pemerintah menilai anggota MRP tidak pahami tugas sehingga MRP dianggap sebagai salah satu lembaga pemicu kegagalan Otsus.

Bagi Indonesia ongkos Otsus dibayar mahal. Banyak biaya dikeluarkan. Banyak waktu dihabiskan. Banyak tenaga dikorbankan. Hanya untuk memaksa Otsus hidup di Papua. Karena itu, siapapun yang bermain dalam Otsus akan dipantau dan dinilai. Setiap orang Papua yang terlibat sebagai penggerak Otsus akan diawasi. Jika ada indikasi menggagalkan Otsus akan berhadapan pada dua pilihan yaitu: mati diracuni seperti JP. Solosa atau dijebloskan kedalam penjara sama seperti David Hubi.

Semua anggota MRP ibarat Babi Hutan yang masuk di pekarangan orang tapi karena kurang gizi/kurus maka dikandangkan untuk diberikan makan hingga gemuk. Jika masih mau keluar ke hutan padahal menghabiskan banyak makanan tentu saja akan di-"sate"-kan (dibunuh). Hal ini tidak disadari oleh semua anggota MRP karena nafsu mereka akan uang, rumah mewah, mobil mewah dan sex. Mereka adalah segerombolan kaki tangan NKRI yang menikmati hidup tidak dengan otak tetapi dengan insting binatang.

Persoalannya sekarang ada di tangan Orang Asli Papua. Apakah kita masih terus mau diwakili oleh MRP yang nyata-nyata merupakan lembaga bentukan NKRI? Apakah kita masih mau terus demo dan membawa aspirasi kepada mereka? Apakah kita akan memilih anggota MRP untuk periode berikutnya? Kalau jawabannya "ya" berarti kita lebih buruk dari mereka. Mereka hidup dengan insting binatang, kita hidup dengan dua sampai seribu kali insting binatang.(k0nt@k)
Lanjut Membaca »»